Cari Blog Ini

Selasa, 06 Mei 2014

Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Sekolah yang Efektif

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Lahirnya UU. No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, serta UU. No. 25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga penyelenggaraan yang bersifat terpusat atau sentralis berganti ke arah desentralisasi.
Pengelolaan pendidikan yang diarahkan pada desentralisasi menuntut partisipasi masyarakat secara aktif untuk merealisasikan otonomi daerah. Karena itu memerlukan kesiapan sekolah sebagai ujung tombak operasional pendidikan pada level bawah. Pendidikan yang selama ini dikelola terpusat (sentral) harus diubah sesuai dengan perkembangan sistem yang ada yaitu sistem desentraliasi. Otonomi daerah sebagai kebijakan politik makro akan memberi imbas terhadap otonomi sekolah sebagai sub sistem pendidikan.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa MBS merupakan pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Dengan demikian, mahasiswa calon guru SD semestinya dapat memahami penerapan MBS sebagai bekal ketika berada di sekolah nantinya.
Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.

1.2. Tujuan Penulisan
1)        Untuk mengetahui makna dari manajemen dan manajemen berbasis sekolah
2)        Mengetahui tujuan manajemen berbasis sekolah menuju sekolah yang efektif
3)        Mengetahui peranan dan partisipasi dalam implementasi manajemen berbasis sekolah

1.3. Manfaat Penulisan
1)        Dapat memahami pengertian manajemen dan manajemen berbasis sekolah
2)        Dapat memahami tujuan manajemen berbasis sekolah menuju sekolah yang baik
3)        Dapat memahami peranan dan partisipasi masyarakat dalam implementasi manejemen berbasis sekolah
4)        Dapat melakukan kegiatan yang berpandu pada manajemen berbasis sekolah



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Pengertian Manajemen dan Manajemen Berbasis Sekolah
2.1.1.  Pengertian Manajemen
Menurut  penulis manajemen adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat perencanaan, pelaksanaan, dan pelaksanaan yang digunakan untuk mengatur anggota suatu organisasi atau institusi agar tujuan organisasi atau institusi tersebut dapat tercapai.

2.1.2        Pengetian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. Manajemen Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto, Manajemen Berbasis Sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah sedangkan Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
Menuut E. Mulyasa (2004:24), Manajemen Berbasis Sekolah merupakan wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan langsung partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Menurut Nanang fatah (2006:32), Manajemen Berbasis Sekolah merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah  mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat local (Local Stakeholder).
2.2.   Implementasi Manejemen Berbasis Sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan.
1.    Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:
a)    melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
b)   membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
c)    menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
2.    Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah:
a)    pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
b)   memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).
3.    Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa
4.    Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata. Kewenangan yang Didesentralisasikan adalah:
a.    Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
b.    Pengelolaan Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal.
c.    Pengelolaan Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
d.   Pengelolaan Ketenagaan Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah Pusat/Daerah.
e.    Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan) Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.
f.     Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g.    Pelayanan Siswa Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h.    Hubungan Sekolah-Masyarakat Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
i.      Pengelolaan Iklim Sekolah Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklmi sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.

2.3.   Manajemen Berbasis Sekolah menuju sekolah yang efektif
Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS “Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk: 
1)   Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memperdayakan sumberdaya yang tersedia.
2)   Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
3)   Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya
4)   Meningkatkan kopetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai
5)   Meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di daerah dimana sekolah berada.
Ada beberapa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu :
1)   Sekolah lebih menegtahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
2)   Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena fihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
3)   Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
4)   Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputsan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
5)   Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
6)   Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik. Masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
7)   Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
8)   Secara yuridis telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku, khususnya pada UU Sisdiknas Nonor 20 tahun 2003 serta peraturan perundangan lain yang terkait.
2.4.   Partisipasi Masyarakat dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peran serta masyarakat itu tidak hanya berupa dukungan dana atau sumbangan fisik saja, tetapi bisa lebih dari itu. Peran serta masyarakat sudah dapat dianggap baik jika dapat dapat terlibat dalam bidang pengelolaan sekolah, apalagi bila dapat masuk ke biang akademik. Orang tua merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan MBS. Sebagai pihak yang sangat berkepentingan dengan kemajuan belajar anaknya, orang tua sudah selayaknya dilibatkan secara aktif oleh sekolah untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peran serta mereka tidak hanya berupa dana, tetapi juga pemikiran atau tenaga dalam pembelajaran, perencanaan pengembangan sekolah, dan pengelolaan kelas. Komitmen dan kerjasama sangat diperlukan dalam upaya realisasi peran serta ini. Antara sekolah dan orang tua idealnya saling proaktif. Peran serta orang tua dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat disesuaikan dengan latar belakang sosial ekonomi dan kemampuan orang tua.
Demikian pula, dukungan masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan sekolah melibatkan peran serta tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri, serta kelembagaan sosial budaya. Penyertaan mereka dalam pengelolaan sekolah hendaknya dilakukan secara integral, sinergis, dan efektif, dengan memperhatikan keterbukaan sekolah untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah dapat berjalan dengan baik apabila komite sekolah diberdayakan secara optimal. Komite sekolah dibentuk sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan diri menuju peningkatan kualitas pendidikan. Dalam pelaksanaannya komite sekolah bekerja berdasarkan fungsi-fungsi manajemen.
Sebagai mitra sekolah, komite sekolah memiliki peran sebagai (1) advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Sejalan dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah diharapkan dapat membina jalinan kerjasama dengan orang tua dan masyarakat. Sebagai bagian dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah, pemberdayaan komite/dewan sekolah ini merupakan wujud manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.



BAB III
PENUTUP
3.1.        Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah dalam mengimplementasikannya terdapat 4 (empat) prinsip yang harus dipahami yaitu: kekuasaan, pengetahuan, sistem informasi, dan sistem penghargaan.
Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien
3.2. Saran
Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan penulis, mahasiswa maupun bagi pembacanya dapat mengambil manfaat tentang bagaimana manajemen berbasis sekolah dan penerapannya. Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah guru yang berkualitas akan menghasilkan lingkungan dan siswa yang berkualitas, maka jadilah guru yang berstandar nasional agar mampu bersaing di kehidupan era globalisasi ini.


DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo
Fatah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewa Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta:     Dikmenum.
Depdiknas, 2001.  Konsep dan Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan  Mutu           Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum. 

Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.  

Guru Itu Seperti Saya Kah ?


Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk sekitar 244,8 juta jiwa(data statistik Indonesia tahun 2014). Dengan penduduk sebanyak ini, menempatkan Indonesia di urutan ke 4 penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, Amerika Serikat. Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu Negara terbanyak di dunia. Dengan kepadatan penduduk seperti ini apakah Negara bisa menjadi Negara adidaya layaknya Amerika Serikat? Jawabannya adalah “bisa, tetapi jika lebih banyak guru yang cerdas dari pada tidak cerdas”. Guru merupakan pencipta kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, jika guru itu baik dan berkualitas, maka majulah negara itu. Tetapi jika guru itu buruk dan tidak berkualitas, maka hancurlah negara itu.
Syarat menjadi budaya yang maju dengan jumlah penduduk yang terus meningkat ini adalah pendidikan dan teknologi yang maju. Pendidikan di Indonesia saat ini kita perhatikan sangatlah memprihatinkan, baik dari guru, siswa, dan lingkungannya. Dalam hal ini guru merupakan orang yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan. Pada tahun 2013 jumlah guru di Indonesia ada sekitar 2,92 juta orang,  900.000-nya adalah guru honorer dan sisanya adalah PNS. Dengan jumlah sebesar itu maka rasio guru dan siswa menjadi 1:14. Berarti setiap guru hanya mengajar 14 siswa atau peserta didik, padahal idealnya antara guru dengan peserta didik adalah 1:15 dan 1:32, dan rasio rata-rata internasional adalah 1:32. Dengan demikian timbul pertanyaan berikutnya, apakah guru dari sekian banyak itu adalah guru atau hanya orang-orang yang menyamar menjadi guru?. Setiap guru harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar nasional guru yang telah ditentukan oleh Pemerintah Indonesia yang disebut dengan “profesionalisme guru”. Kemudian jika kita lihat kebelakang dari pembentukan atau pendirian-pendirian Perguruan Tinggi Swasta yang ditujukan untuk menciptakan guru untuk membangun karakter bangsa justru kelihatan sebaliknya, menciptakan guru yang meruntuhkan karakter bangsa.
Dari artikel ini, seorang guru haruslah memenuhi standar menjadi guru. Jangan menyamar sebagai guru untuk mendapatkan beberapa tunjangan kehidupan seperti sertifikasi. Tujuan diadakanya sertifikasi adalah untuk menyejahterakan guru agar guru tersebut menjadi lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk. Sebelum melangkah untuk menciptakan manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bangsa dan negara, sebaiknya guru memperhatikan dan merenungkan dirinya sendiri. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab dari hati masing-masing guru, pertanyaan itu adalah :
1.      Apa tujuan saya menjadi guru?
2.      Bagaimana saya menjadi guru?
3.      Guru itu seperti saya kah ?

Membangun karakter itu sulit, harus bisa membangun karakter diri sendiri dulu. Membangun karakter diri sendiri itu sulit, harus bisa mengetahui siapa diri ini sebenarnya. Jadilah pribadi yang mengesankan bagi diri sendiri, bangsa dan negara”. (syah)